Konsep negara hukum (Rule of Law) memegang janji tentang supremasi hukum, kesetaraan di hadapan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia. Di atas kertas, setiap negara demokratis, termasuk Indonesia, mendeklarasikan diri sebagai negara yang berlandaskan hukum. Namun, sejarah sering kali menunjukkan kontradiksi yang menyakitkan antara klaim normatif dan realitas praktik.
Salah satu babak paling kompleks dan kontroversial dalam sejarah hukum Indonesia adalah era Orde Baru (1966-1998). Periode ini diwarnai oleh fenomena yang oleh para akademisi di Program Studi STIHP Pelopor Bangsa dikaji secara mendalam sebagai Ironi Rule of Law Semu. Hukum di masa itu, alih-alih menjadi pelindung hak warga negara, justru dimaknai dan difungsikan sebagai Alat Rekayasa Sosial (Law as a Tool of Social Engineering) oleh kekuasaan.
Lalu, bagaimana hukum yang seharusnya menjadi panglima keadilan dapat bertransformasi menjadi instrumen kontrol politik? Apa saja ciri-ciri Rule of Law semu yang dipraktikkan? Artikel ini akan mengupas tuntas analisis mendalam dari Program Studi STIHP Pelopor Bangsa mengenai ironi ini, yang hingga kini masih relevan sebagai pelajaran berharga bagi penegakan hukum dan demokrasi Indonesia.
Memahami Konsep Kunci: Rule of Law dan Rekayasa Sosial
Untuk memahami ironi ini, kita perlu mendefinisikan dua konsep kunci yang saling berhadapan:
1. Hakikat Rule of Law Sejati
Rule of Law sejati mengandung tiga pilar utama:
- Supremasi Hukum (Supremacy of Law): Tidak ada seorang pun di atas hukum, termasuk penguasa.
- Kesetaraan di Hadapan Hukum (Equality Before the Law): Hukum berlaku sama bagi semua orang tanpa diskriminasi.
- Perlindungan Hak Asasi Manusia (Individual Rights): Hukum menjamin dan melindungi kebebasan serta hak-hak dasar warga negara.
2. Hukum sebagai Alat Rekayasa Sosial (Law as a Tool of Social Engineering)
Konsep ini dipopulerkan oleh filsuf hukum Roscoe Pound. Secara netral, rekayasa sosial melalui hukum berarti penggunaan aturan dan undang-undang untuk menata, mengarahkan, atau mengubah pola perilaku masyarakat menuju tujuan sosial, ekonomi, atau politik tertentu.
Di masa Orde Baru, kajian di Program Studi STIHP Pelopor Bangsa menunjukkan bahwa tujuan rekayasa sosial ini adalah: Stabilitas Pembangunan dan Konsolidasi Kekuasaan Otoriter. Hukum dipandang sebagai alat teknis untuk mencapai tujuan ini, bukan sebagai nilai etik yang harus dijunjung.
Karakteristik Rule of Law Semu Orde Baru
Ketika hukum digunakan untuk rekayasa politik oleh rezim yang otoriter, lahirlah Ironi Rule of Law Semu, sebuah kondisi di mana bentuk-bentuk hukum (peraturan, lembaga, peradilan) ada, tetapi substansi keadilan dan supremasi hukum diabaikan.
1. Legislasi sebagai Legitimasi Kekuasaan
Orde Baru sangat produktif dalam melahirkan undang-undang, menciptakan ilusi negara hukum yang teratur. Namun, STIHP Pelopor Bangsa menggarisbawahi bahwa legislasi ini lebih banyak berfungsi sebagai Legitimasi Formal atas kebijakan-kebijakan yang telah diputuskan oleh eksekutif.
- Undang-Undang Subversif: UU yang karet dan multitafsir digunakan untuk membungkam oposisi politik, kritik, dan aktivitas mahasiswa.
- Sentralisasi Kekuasaan: Lahirnya UU yang melemahkan otonomi daerah dan memperkuat kontrol pusat, memastikan semua kebijakan diarahkan dari Jakarta.
Hukum menjadi “stempel persetujuan” bagi tindakan penguasa, bukan pembatas kekuasaan.
2. Diskresi Kekuasaan yang Luas (Excessive Executive Power)
Meskipun terdapat pemisahan kekuasaan trias politika, dalam praktiknya, lembaga eksekutif (Presiden dan jajarannya) memiliki diskresi yang sangat luas, bahkan menembus batas yudikatif dan legislatif.
- Intervensi Yudikatif: Mahasiswa STIHP Pelopor Bangsa mencatat banyaknya kasus di mana proses peradilan dipengaruhi oleh kepentingan politik. Keputusan-keputusan pengadilan yang berseberangan dengan kehendak rezim cenderung diintimidasi atau dibatalkan. Kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of judiciary) praktis lumpuh.
- Pemanfaatan Dwifungsi ABRI: Integrasi peran militer dalam fungsi sipil dan politik menjadi alat rekayasa sosial yang paling efektif, memastikan ketertiban dan kepatuhan masyarakat melalui pendekatan keamanan.
3. Asas Kesetaraan yang Pincang (Unequal Application of Law)
Pilar kedua Rule of Law—kesetaraan di hadapan hukum—menjadi korban utama. Hukum ditegakkan secara selektif:
- Hukum Tajam ke Bawah: Hukum sangat tegas dan keras diterapkan kepada masyarakat kecil, aktivis, buruh, dan mereka yang menentang kebijakan pemerintah (misalnya, kasus penggusuran atau protes).
- Hukum Tumpul ke Atas: Para elit, kroni, dan pejabat yang melakukan korupsi atau pelanggaran hukum berat sering kali luput dari jerat hukum, atau mendapatkan hukuman yang sangat ringan.
Ironi inilah yang menciptakan persepsi publik bahwa hukum adalah alat intimidasi bagi rakyat, sementara ia adalah pelindung bagi penguasa.
Perspektif Akademis STIHP Pelopor Bangsa
Program Studi STIHP Pelopor Bangsa menekankan pentingnya studi sejarah hukum ini untuk mencegah terulangnya praktik otoritarianisme. Analisis mereka fokus pada pembelajaran yang relevan:
1. Pembelajaran Sejarah Hukum sebagai Kontrol Sosial
Mahasiswa diajak mengkaji teks-teks hukum masa Orde Baru untuk memahami bagaimana bahasa hukum dimanipulasi agar terlihat netral dan adil, padahal isinya dirancang untuk mengontrol narasi dan perilaku sosial. Contohnya adalah undang-undang tentang keormasan dan pers.
2. Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi Yudisial
STIHP Pelopor Bangsa menekankan bahwa kunci untuk mempertahankan Rule of Law sejati adalah integritas dan independensi aparat penegak hukum. Melalui mata kuliah Etika Profesi Hukum dan Sosiologi Hukum, mahasiswa dilatih untuk menolak segala bentuk intervensi politik dan korupsi yang menjadi ciri khas Rule of Law semu.
3. Hukum dan Pembangunan Berkelanjutan
Pasca-Orde Baru, tantangan bergeser. STIHP Pelopor Bangsa kini fokus mengkaji bagaimana hukum dapat benar-benar menjadi alat rekayasa sosial yang positif—yaitu untuk mendukung demokrasi, perlindungan lingkungan, dan pemberantasan korupsi—bukan untuk melayani kepentingan segelintir elit.
Penutup: Belajar dari Ironi Ironi Masa Lalu
Ironi Rule of Law Semu di masa Orde Baru, sebagaimana dianalisis oleh Program Studi STIHP Pelopor Bangsa, adalah peringatan abadi bagi bangsa Indonesia. Ia mengajarkan bahwa keberadaan perangkat hukum dan lembaga peradilan tidaklah cukup untuk menjamin keadilan. Yang menentukan adalah substansi, integritas, dan komitmen politik para pemegang kekuasaan untuk tunduk pada hukum.
Ketika hukum disalahgunakan sebagai alat rekayasa sosial untuk melanggengkan kekuasaan otoriter, fondasi negara hukum akan rapuh. Oleh karena itu, tugas setiap generasi, terutama para akademisi dan mahasiswa hukum, adalah mengawasi dengan ketat praktik penegakan hukum dan memastikan bahwa hukum kembali pada hakikat sejatinya: pelindung hak warga negara dan pengekang kekuasaan.
Reformasi hukum yang berkelanjutan harus terus diupayakan agar Indonesia benar-benar dapat menjadi negara yang menjunjung tinggi Rule of Law sejati, bukan sekadar ilusi semu.
Baca Juga: Debat Hukum: Mengapa Pasal Kontroversial RUU KUHAP Ini Perlu Ditinjau Ulang?
