Hukum, dalam esensinya, adalah cerminan dari nilai-nilai dan moralitas suatu bangsa. Namun, ketika suatu pasal dalam undang-undang menimbulkan kegaduhan, multitafsir, bahkan potensi mengancam hak fundamental warga negara, maka timbul kewajiban moral dan akademik untuk meninjau ulang. Inilah yang terjadi pada berbagai ketentuan yang sering disebut Pasal Kontroversial, seperti yang baru-baru ini muncul dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan.
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dan Politik (STIHAPOL) Pelopor Bangsa hadir sebagai lembaga yang bukan sekadar mengajarkan hukum, melainkan mempraktikkan pemikiran hukum yang kritis. Melalui artikel ini, kami mengajak Anda menyelami mengapa debat hukum, khususnya mengenai peninjauan ulang pasal-pasal kontroversial, sangat penting untuk menjaga integritas negara hukum demokratis, dan bagaimana STIHAPOL Pelopor Bangsa menjadi episentrum kajian mendalam tersebut.
1. Ancaman Terhadap Demokrasi: Kasus Pasal Penghinaan Presiden/Wakil Presiden
Salah satu contoh paling ikonik dari Pasal Kontroversial adalah ketentuan yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP Baru).
A. Kontroversi Inti: Konflik antara Perlindungan Jabatan dan Kebebasan Berekspresi
Di satu sisi, pembuat undang-undang berargumen bahwa pasal ini diperlukan untuk melindungi martabat institusi kepresidenan. Namun, di sisi lain, kritik tajam muncul karena:
- Kemunduran Demokrasi: Pasal serupa (lèse-majesté) di KUHP lama telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap tidak sesuai dengan semangat reformasi dan prinsip negara demokratis. Dihidupkannya kembali pasal ini dinilai mencederai kebebasan berpendapat dan berekspresi.
- Potensi Abuse of Power: Meskipun delik aduan, kekhawatiran terbesar adalah pasal ini menjadi “pasal karet” yang berpotensi digunakan untuk membungkam kritik publik yang sah dan konstruktif terhadap kebijakan pemerintah.
Debat Hukum di STIHAPOL: Di kampus kami, mahasiswa Hukum dan Politik tidak hanya menghafal bunyi pasal, tetapi menganalisisnya dari perspektif hak asasi manusia, teori konstitusi, dan perbandingan hukum internasional. Kami meninjau kembali: Apakah martabat jabatan lebih penting dari fungsi kontrol publik?
2. Intervensi Negara dalam Ranah Privat: Polemik Pasal Kumpul Kebo dan Zina
Isu lain yang memicu perdebatan sengit adalah ketentuan mengenai pidana perzinaan dan hidup bersama tanpa ikatan perkawinan (kohabitasi atau kumpul kebo).
A. Kontroversi Inti: Batas Antara Hukum Pidana dan Moralitas Publik
Pasal-pasal ini (misalnya Pasal 411 dan 412 KUHP Baru) menjadi kontroversial karena:
- Kriminalisasi Ranah Privat: Banyak pihak menilai bahwa urusan privat antara orang dewasa seharusnya tidak menjadi ranah hukum pidana negara, terutama jika tidak menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga.
- Ancaman terhadap Turis dan Penduduk Non-Muslim: Pasal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Warga Negara Asing (WNA) atau bagi warga negara yang tidak terikat dalam perkawinan yang diakui secara agama, meskipun pelaksanaannya mensyaratkan adanya pengaduan (delik aduan absolut) dari pihak tertentu (suami/istri, orang tua, atau anak).
Pentingnya Peninjauan Ulang: Peninjauan ulang diperlukan untuk menyeimbangkan antara perlindungan nilai-nilai moralitas yang diyakini masyarakat dan perlindungan hak individu atas privasi dan otonomi tubuh. Kajian di STIHAPOL Pelopor Bangsa berfokus pada penerapan restorative justice dan penal policy yang lebih humanis.
3. Kebutuhan akan Kepastian Hukum dan Anti-Multitafsir
Pasal Kontroversial sering kali memiliki karakteristik sebagai “pasal karet,” yaitu pasal yang definisinya tidak jelas dan membuka ruang bagi berbagai penafsiran yang berbeda.
A. Dampak “Pasal Karet” pada Penegakan Hukum
Ketidakjelasan definisi, seperti dalam beberapa ketentuan terkait hukum adat yang dapat dipidanakan atau pasal penistaan agama, berpotensi:
- Kriminalisasi Warga Negara: Aparat penegak hukum (APH) dapat menggunakan multitafsir ini untuk memidanakan perbuatan yang seharusnya merupakan ranah sengketa perdata, kritik sosial, atau perbedaan keyakinan.
- Ketidakadilan: Pasal yang tidak jelas melanggar prinsip dasar hukum pidana, yaitu lex certa (hukum harus pasti), yang menjamin bahwa setiap warga negara tahu persis perbuatan apa yang dilarang.
Peran STIHAPOL Pelopor Bangsa: Kami melatih mahasiswa untuk melakukan Analisis Hukum Kritis (AHK), yaitu kemampuan untuk mengurai pasal-pasal yang bermasalah, menyoroti ketidakpastian definisional, dan merumuskan draf revisi undang-undang yang menjamin kepastian dan keadilan hukum.
4. STIHAPOL Pelopor Bangsa: Pusat Kajian dan Debat Hukum Kritis
Untuk meninjau ulang sebuah pasal, diperlukan analisis mendalam, perbandingan hukum, dan keberanian akademik. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dan Politik Pelopor Bangsa menyediakan ekosistem tersebut:
- Forum Debat Hukum: Kami secara rutin mengadakan seminar hukum nasional dan moot court yang berfokus pada pasal-pasal yang sedang hangat diperdebatkan. Mahasiswa diajarkan menyusun argumen judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
- Fokus Riset pada Reformasi Hukum: Riset dosen dan mahasiswa kami diarahkan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti, membantu pemerintah dan DPR dalam merumuskan undang-undang yang lebih progresif dan demokratis.
- Kajian Politik Hukum: Kami melihat hukum bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai produk politik. Mahasiswa diajarkan menganalisis kepentingan politik apa yang melatarbelakangi pembuatan Pasal Kontroversial dan bagaimana dinamika politik memengaruhi peninjauannya.
Kunci SEO: STIHAPOL Pelopor Bangsa mencetak lulusan yang mampu melakukan peninjauan ulang pasal kontroversial dengan landasan analisis hukum kritis dan pemahaman mendalam tentang reformasi hukum pidana.
Kesimpulan: Panggilan untuk Menjadi Pelopor Perubahan Hukum
Debat Hukum: Mengapa Pasal Kontroversial Ini Perlu Ditinjau Ulang? Jawabannya adalah karena tanpa peninjauan ulang yang kritis, hukum akan gagal berfungsi sebagai alat keadilan dan justru menjadi alat opresi. Pasal yang tidak jelas, yang mengancam kebebasan berekspresi, atau yang mengintervensi ranah privat, harus menjadi fokus kajian para akademisi hukum.
Jika Anda bersemangat untuk menjadi seorang sarjana hukum yang berani menantang status quo, yang ingin memastikan hukum Indonesia benar-benar mencerminkan keadilan dan hak asasi manusia, maka pilihlah institusi yang memfasilitasi pemikiran kritis tersebut.
Pilihan Anda ada di sini. Bergabunglah dengan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dan Politik Pelopor Bangsa, dan jadilah generasi advokat, hakim, jaksa, atau politisi yang berani menyuarakan perlunya peninjauan ulang pasal kontroversial demi masa depan hukum Indonesia yang lebih baik.
Baca Juga: Pembelajaran Hukum dan Kebijakan Publik Berbasis Studi Kasus: Membangun Kompetensi Mahasiswa Modern
