Dalam beberapa dekade terakhir, kebangkitan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi dan politik global telah menjadi fenomena yang paling signifikan. Namun, di balik kecepatan pembangunan infrastruktur dan inovasi teknologi, terdapat fondasi filosofis yang sering terabaikan: Etika Konfusianisme. Filsafat yang berusia lebih dari dua milenium ini telah dihidupkan kembali oleh Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan disuntikkan secara strategis ke dalam diplomasi, kebijakan dalam negeri, dan upaya soft power global mereka.
Menganalisis perpaduan unik antara ideologi komunis modern dan etika tradisional Konfusianisme ini membutuhkan lensa akademis yang tajam. Jurnal Mahasiswa STIHP Pelopor Bangsa mengambil tantangan tersebut. Melalui studi mendalam, mahasiswa STIHP telah menghasilkan analisis kritis tentang bagaimana konsep-konsep Konfusianisme seperti Harmony (Hé), Moral Governance (Dezhi), dan The Mandate of Heaven (Tianming) berfungsi sebagai “buku petunjuk tersembunyi” yang membentuk Strategi Politik Global Tiongkok di abad ke-21.
Artikel ini akan membedah temuan-temuan kunci dari Jurnal STIHP, menjelaskan mengapa pemahaman tentang Konfusianisme menjadi hal yang mutlak diperlukan bagi para pemimpin politik, akademisi, dan siapa pun yang ingin memahami langkah-langkah Tiongkok di panggung dunia.
Pilar Filosofis dalam Politik Tiongkok Modern
Konfusianisme, yang berpusat pada hubungan hierarkis, tanggung jawab sosial, dan moralitas pemimpin, telah menjadi alat yang ampuh bagi PKT untuk melegitimasi kekuasaan mereka dan menstabilkan masyarakat yang sangat beragam. Mahasiswa STIHP menyoroti beberapa konsep inti Konfusianisme dan implementasinya dalam strategi politik Tiongkok:
1. Konsep Harmoni (Hé) dan Stabilitas Internal
Konfusius menekankan Harmoni (Hé) sebagai tujuan tertinggi masyarakat. Bagi Tiongkok modern, konsep ini diterjemahkan menjadi stabilitas sosial dan politik.
- Legitimasi Politik: PKT menggunakan narasi bahwa merekalah satu-satunya kekuatan yang dapat menjaga harmoni sosial Tiongkok dari kekacauan, mengimbangi keinginan masyarakat akan kebebasan individu dengan kebutuhan kolektif akan keteraturan. Jurnal STIHP berpendapat bahwa narasi Hé ini memperkuat sistem one-party rule dengan memposisikannya sebagai penjamin stabilitas, suatu nilai yang dihormati secara tradisional.
- Implikasi Global: Dalam diplomasi, Tiongkok sering mempromosikan “Masyarakat Berbagi Masa Depan Umat Manusia” yang berlandaskan harmoni antarnegara. Ini berfungsi sebagai kontras terhadap model politik Barat yang dianggap berfokus pada konflik (demokrasi vs. otokrasi) dan intervensi.
2. Pemerintahan Berbasis Moral (Dezhi) dan Soft Power
Dezhi (Pemerintahan Berbasis Moral) adalah ide Konfusianisme yang menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memimpin melalui contoh kebajikan, bukan melalui paksaan atau hukum yang keras.
- Pemberantasan Korupsi: Mahasiswa STIHP mengamati bagaimana kampanye pemberantasan korupsi Tiongkok tidak hanya dilihat sebagai tindakan hukum, tetapi juga sebagai pemulihan kewajiban moral pemimpin kepada rakyat, sejalan dengan Dezhi. Ini memperkuat citra PKT sebagai entitas yang secara moral berhak memimpin.
- Soft Power Konfusianisme: Di panggung global, Tiongkok membangun ratusan Institusi Konfusius di seluruh dunia. Lembaga ini mengajarkan bahasa Mandarin dan budaya Tiongkok, bertindak sebagai kanal soft power yang memproyeksikan citra Tiongkok sebagai peradaban damai, bijaksana, dan berorientasi pada nilai-nilai keluarga dan pendidikan. Jurnal tersebut menyimpulkan bahwa ini adalah upaya sistematis untuk mengekspor nilai-nilai Konfusianisme sebagai alternatif narasi Barat.
Baca Juga: STIHP Pelopor Bangsa: Wujud Pengabdian Mahasiswa dalam Sosialisasi di Resimen II Kedung Halang
Etika Konfusianisme dalam Strategi Geopolitik
Analisis yang dilakukan oleh mahasiswa STIHP tidak hanya terpaku pada politik dalam negeri, tetapi juga menelusuri bagaimana etika kuno ini memengaruhi inisiatif geopolitik Tiongkok, terutama Belt and Road Initiative (BRI).
3. Konsep Hubungan Hierarkis (Wulun)
Konfusianisme mengatur lima hubungan dasar (Wulun), di mana setiap hubungan memiliki hierarki dan kewajiban masing-masing (misalnya, ayah-anak, penguasa-rakyat, senior-junior).
- Diplomasi Great Power: Dalam konteks global, Tiongkok sering kali menempatkan dirinya sebagai “negara senior” (Great Power) yang bertanggung jawab untuk membimbing “negara junior” (terutama di Asia Tenggara dan Afrika) menuju kemakmuran melalui inisiatif seperti BRI.
- Prinsip Non-Intervensi: Tiongkok secara konsisten menganut prinsip non-intervensi dalam urusan internal negara lain. Jurnal STIHP menafsirkan ini sebagai turunan Konfusianisme: seperti halnya seorang ayah tidak mendikte urusan internal keluarga lain, Tiongkok percaya bahwa setiap negara harus dibiarkan mencari “harmoni” internalnya sendiri, dengan Tiongkok hanya menawarkan bantuan pembangunan (berbasis benevolence atau Rén).
4. The Mandate of Heaven (Tianming) dalam Era Modern
Secara tradisional, Mandat Langit (Tianming) adalah legitimasi ilahi bagi kaisar untuk memerintah, dan dapat dicabut jika kaisar kehilangan kebajikannya.
- Legitimasi Kinerja: Di Tiongkok modern, Mandat Langit telah diinterpretasikan ulang menjadi “legitimasi kinerja”. Selama PKT dapat mengangkat jutaan rakyatnya dari kemiskinan, mempertahankan stabilitas, dan meningkatkan kualitas hidup, mereka dianggap masih memegang Tianming modern. Kegagalan dalam salah satu aspek ini dapat menimbulkan keraguan terhadap legitimasi mereka.
- Strategi Inovasi: Dorongan kuat Tiongkok pada inovasi teknologi (Made in China 2025) dan keberhasilan ekonomi dilihat sebagai bukti Mandat Langit bahwa Tiongkok adalah kekuatan yang diamanatkan untuk memimpin tatanan global baru. Mahasiswa STIHP berpendapat bahwa ini memberikan nuansa “takdir peradaban” pada ambisi geopolitik Tiongkok.
Tantangan dan Kritik Teologis dari Perspektif Konfusianisme
Meskipun Tiongkok mengadopsi Konfusianisme sebagai alat politik yang efektif, analisis Jurnal STIHP juga menyoroti titik-titik ketegangan dan kritik:
- Individualisme vs. Kolektivisme: Etika Konfusianisme yang kolektivis (mengutamakan kelompok) sering berbenturan dengan nilai-nilai hak asasi manusia dan individualisme yang dipromosikan Barat. Ini menjadi celah yang dieksploitasi oleh para kritikus China di tingkat global.
- Sistem Pendidikan: Filsafat ini, yang menekankan ketaatan pada otoritas (senioritas), terkadang menghambat pemikiran kritis dan kreativitas radikal yang dibutuhkan China untuk beralih dari copycat menjadi pemimpin inovasi sejati.
Pentingnya Membaca Bahasa Budaya
Temuan kunci Jurnal Mahasiswa STIHP Pelopor Bangsa adalah bahwa Strategi Politik Global Tiongkok tidak dapat diuraikan hanya dengan menganalisis PDB atau persenjataan militernya. Diplomasi Tiongkok adalah “diplomasi budaya” yang kaya akan filosofi Konfusianisme.
Bagi mereka yang bernegosiasi atau bersaing dengan Tiongkok, pemahaman tentang bagaimana konsep Hé, Dezhi, dan Wulun memengaruhi setiap keputusan—mulai dari pinjaman BRI hingga pernyataan resmi PBB—adalah sebuah keharusan. Jurnal ini memberikan kontribusi yang berharga dalam menerjemahkan “bahasa budaya” Tiongkok ke dalam kerangka politik modern.
Kesimpulan: Konfusianisme, Kunci Masa Depan Hubungan Internasional
Kebangkitan Konfusius sebagai prinsip panduan dalam kebijakan Tiongkok menandai pergeseran signifikan dalam narasi politik global. Tiongkok tidak lagi hanya mengekspor barang; mereka mengekspor model tata kelola dan nilai-nilai peradaban yang menantang hegemoni pemikiran Barat.
Melalui kerja keras dan analisis mendalam, Mahasiswa STIHP Pelopor Bangsa telah berhasil membuka jendela bagi pembaca untuk melihat fondasi etis dari salah satu kekuatan terbesar di dunia. Pemahaman ini adalah langkah pertama untuk membangun hubungan internasional yang lebih bernuansa, di mana dialog dan saling pengertian didasarkan pada pengakuan akan perbedaan filosofis yang mendalam.
Masa depan hubungan internasional akan sangat bergantung pada seberapa baik kita memahami bagaimana filosofi kuno seperti Konfusianisme dicetak ulang untuk memandu strategi politik di Era Digital ini.
Leave a Reply